Hampir setahun saya sudah
bergabung di salah satu organisasi mahasiswa terbesar di IPB yaitu BEM KM. Di
sinilah saya menikmati masa-masa terakhir saya sebagai mahasiswa. Awalnya saya
ragu untuk masuk kembali di dalam organisasi ini, karena sejujurnya saya pun
ingin cepat lulus. Tapi saya mulai berpikir, jika saya lulus sedangkan bekal
yang saya punya masih kurang untuk melamar suatu pekerjaan, pastinya tidak akan
lolos karena ketika saya mengikuti sebuah pelatihan softskill dimana
pembicaranya merupakan salah satu menejer di perusahaan ternama berkata “Nilai
bukanlah satu-satunya syarat untuk lolos di perusahaan, tapi skill dan keikutsertaan organisasi di
kampus itu menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena pelamar yang
semasa mahasiswanya mengikuti banyak organisasi di kampus sudah terasah jiwa
kepemimpinannya.” Saya pun akhirnya memutuskan untuk mengikuti open recruitment BEM KM IPB untuk
mendapatkan bekal itu dan alhamdulillah saya diterima di Biro Communication and Information Agency
(CIA) sebagai sekretaris.
Awal perjalanan di BEM KM IPB pun
sangatlah menarik karena saya bisa bertemu dengan teman-teman yang memiliki
banyak perbedaan karakter dengan saya. Apalagi ketika saya dipertemukan oleh
keluarga kecil bernama CIA, di situlah saya mendapatkan tantangan. Tantangan
untuk menyatukan mereka dalam sebuah visi dan misi. Jujur, mereka memiliki
karakter yang sangat unik. Ada yang manja, moody,
baper, pemalu, aktivis di mana-mana, tegas, dan lain-lain. Tapi di situlah saya
harus bisa lebih cepat untuk beradaptasi dengan mereka. Menjadi angkatan yang
paling tua di CIA membuat saya harus menjadi sosok yang dewasa, kuat, dan tegar
karena saya ingin memberikan kesan positif untuk mereka, yaa meski terkadang
jiwa pemarah saya muncul ketika mereka tidak fokus rapat ataupun sedang
melaksanakan program kerja. Tapi sesungguhnya saya melakukan itu karena ingin
mendidik mereka untuk lebih kuat sebelum mereka terjun di dunia pekerjaan.
Pertengahan kepengurusan BEM KM IPB
mengalami suatu masalah yang cukup dibilang menggemparkan bagi IPB. Tidak perlu
saya ceritakan di sini karena kalian pasti sudah tau apa permasalahan itu.
Jujur lagi, saya sedikit kecewa terhadap pilihan dia yang mudur dari BEM KM
IPB. Tapi dengan mundurnya dia, saya mulai paham dan mengerti tentang arti sebuah
tanggung jawab. Ada tidaknya dia, saya harus tetap berkontribusi untuk BEM KM IPB
karena itu merupakan amanah dan tanggung jawab saya yang wajib diselesaikan
sampai akhir.
Waktu pun mulai berjalan dengan
cepat hingga mendekati akhir kepengurusan. Banyak kisah-kisah menarik yang
sudah saya jalani di sini. Pengalaman berhargapun saya dapatkan, mulai dari
mengikuti aksi, negosiasi dengan sponsor, bertemu dengan pejabat rektorat, dan
yang paling penting saya bisa bertemu dengan teman-teman pimpinan di BEM KM IPB
yang sangatlah menginspirasi. Saya belajar banyak dengan mereka semua. Banyak
poin-poin leadership dari mereka yang
saya ambil. Tanpa mereka, mungkin saya belum bisa menjadi sosok yang seperti
ini.
Rumah Kita telah seluruhnya
menjadi bagian hidup saya di masa-masa terakhir menjadi mahasiswa. Rumah yang
benar-benar menjadi tempat tinggal kedua. Rumah yang memberikan banyak rasa
dari mulai senang hingga sedih, jatuh lalu bangkit, dan apapun itu yang tidak
bisa diungkapkan dengan kata. Akan ada masa-masa di mana saya akan merindukan
dengan rutinitas di rumah kita mulai dari makan bersama, rapat, kumpul
keluarga, bikin proposal dan SPJ bareng, hingga hal yang paling konyol adalah saat-saat berebut kipas angin.
Sepenggal kisah-kisah Rumah Kita sudah
saya curahkan disini. Sebenarnya masih banyak lagi kisah-kisah lainnya yang
belum tersampaikan. Kisah ini akan menjadi kisah kita yang tidak akan saya
lupakan. Kisah kita ini memberikan banyak pelajaran bagi saya untuk menjadikan
saya lebih dewasa lagi. Terima kasih CIA dan BEM KM IPB untuk kisah kita yang
penuh warna.